Kemungkaran

Siapa saja yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya.  Jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya, dan yang demikian selemah-lemahnya iman (HR Muslim dan Ahmad).

Hadis ini merupakan salah satu dalil tentang kewajiban taghyîr al-munkar(mengubah kemungkaran). Kata man sebagai pihak yang diseru (mukhâthab) bersifat umum sehingga mencakup siapa saja yang melihat kemungkaran.  Hadis ini dinyatakan dalam bentuk redaksi syarth-masyrûth.  Mafhûm al-mukhâlafah-nya, orang yang tidak melihat kemungkaran, tidak termasuk yang diseru oleh seruan hadits ini.

Taghyîr menurut ar-Raghib al-Ashfahani di dalam Al-Mufradât bisa dalam dua aspek: mengubah potret sesuatu tanpa zatnya seperti merenovasi rumah, atau mengganti zat sesuatu dengan yang lain. Adapun menurut Abu al-Biqa’ al-Kafawi di dalam Al-Kulliyât, taghyîr maknanya adalah mengganti suatu potret dengan potret yang lain seperti mengubah/mengganti warna merah menjadi putih.  Taghyîr dilakukan bisa atas sesuatu keseluruhannya, bagiannya atau di luar sesuatu itu.  Jadi yang asal dalam taghyîr adalah penggantian sesuatu yang tidak disukai dengan sesuatu yang inginkan.  Taghyîr pada hakikatnya bukan hanya menghilangkan sesuatu, tetapi juga diikuti dengan aktivitas mewujudkan yang baru menggantikan yang dihilangkan.

Dalam hadis di atas Rasul saw. tidak bersabda, “…hendaknya ia menghilangkan, menghalangi atau melenyapkan” meski menghilangkan kemunkaran adalah asas taghyîr al-munkar.  Namun, beliau bersabda, “…hendaklah ia mengubah kemungkaran itu…” Seakan beliau mengisyaratkan untuk menyempurnakan aktivitas dan kewajiban taghyîr al-munkar itu secara riil dengan menghilangkan kemungkaran itu, lalu menegakkan kemakrufan sebagai gantinya sehingga kemungkaran itu bisa dihapus tuntas dan sebaliknya kemakrufan bisa dikokohkan.

Kemungkaran adalah apa saja yang dicela dan diharamkan oleh syariah. Namun, definisi tersebut belum cukup untuk dijadikan batasan kemungkaran yang wajib diubah. Pasalnya, kemungkaran dengan batasan itu banyak, di antaranya mukhtalaf; menurut sebagian merupakan kemungkaran, sementara menurut sebagian yang lain bukan kemungkaran. Karena itu jika definisi kemungkaran itu dijadikan asas dan batasan kewajiban mengubah kemungkaran, termasuk dengan tangan atau kekuatan, niscaya akan menyebabkan kekacauan dan masalah di tengah umat.

Imam al-Ghazali di dalam Ihyâ‘ ‘Ulûmuddîn (ii/436) menyatakan, “Syarat keempat, keberadaan kemungkaran itu sudah jelas (ma’lûm[an]) tanpa ijtihad. Semua yang merupakan obyek ijtihad maka tidak ada hisbah di dalamnya.

Ibnu Muflih al-Hanbali menyatakan, “Tidak ada pengingkaran dalam apa yang ada ikhtilaf di dalamnya dari perkara furû’ atas orang yang berijtihad atau taklid kepada mujtahid dalam hal itu…

Manthûq hadis di atas menyatakan, taghyîr al-munkar dilakukan dengan urutan pertama dengan tangan, yakni kekuatan; jika tidak mampu maka dengan lisan dan jika tidak mampu baru dengan hati. Urutan itu berbeda dengan potret faktual dan riil inkâr al-munkar ketika melihatnya. Orang, jika melihat kemungkaran, pertama-tama ia membenci kemungkaran itu dengan hatinya, tidak meridhai dan tidak menerimanya. Lalu ia melarang kemungkaran itu dengan lisannya, yakni meminta pelaku menghentikan dan meninggalkannya. Jika pelaku menolaknya, barulah dengan kekuatan.

Namun, hadis di atas menyalahi potret ini dan justru memulainya dengan taghyîr al-munkar dengan tangan, lalu lisan dan terakhir dengan hati. Jika urutan dalam hadis tersebut wajib, maka itu tidak riil dan bukan maksud dari hadis itu sendiri.

Penggunaan urutan yang berbeda dengan fakta riil itu mengisyaratkan dua hal: Pertama, dorongan untuk taghyîr al-munkar dan tidak diam terhadap kemungkaran sekalipun sampai menyakiti pelaku ketika harus digunakan kekuatan. Pernyataan dengan derajat paling tinggi, paling jelas menunjukkan keharusan taghyîr al-munkar itu.

Kedua, adanya tasyrî’ kebolehan menimpa-kan adzâ terhadap pelaku kemungkaran dan mengecualikan kondisi ini dari keharaman menyakiti orang lain, yaitu dalam kondisi orang melakukan kemungkaran yang disepakati, tidak ada ikhtilaf tentangnya, maka wajib mengubahnya meski harus melanggar hak pelaku.

Jadi lahiriah hadis di atas tidak berlaku secara mutlak. Urutan cara taghyîr al-munkar yang digunakan sesuai ghalabatu zhan atas keharusan penggunaannya.  Banyak hadis yang menunjukkan penggunaan salah satu dari tiga cara taghyîr al-munkar dalam hadis di atas bergantung pada fakta kemungkaran, fakta situasi yang melingkupi dan ghalabatu zhan orang yang mengubahnya.

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas tentang seorang Arab badui yang kencing di masjid. Saat para sahabat hendak menghalangi dia dengan tangan dan lisan, Rasul saw. Bersabda, “Jangan hentikan, biarkan dia.” Dalam riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah digunakan redaksi, “Biarkan saja dan siramlah dengan seember air.”  Padahal beliau dan para sahabat mampu menghalangi dia dengan tangan dan lisan.  Setelah selesai, baru Rasul saw. menjelaskan kesalahan orang itu dan memberikan pemahaman yang benar. Hal itu karena beliau mengetahui, orang itu melakukannya karena ketidaktahuan.

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasul saw. pernah mencabut dan mencampakkan cincin emas dari tangan seorang sahabat.  Beliau tidak lebih dulu menegur atau memberitahu orang itu sebelum melakukannya.

Imam Muslim, Abu Dawud dan Abu Ya’la meriwayatkan dari Anas bahwa ketika Rasul saw. melihat menara menjulang sebuah rumah, beliau menampakkan kegeraman dan kemarahan.  Ketika pemiliknya mengetahui kegeraman dan kemarahan Rasul atas menaranya, ia pun meratakannya dengan tanah.  Jadi beliau tidak mengubahnya dengan tangan atau dengan lisan dengan menegur pemiliknya, padahal neliau jelas mampu melakukannya.  Beliau hanya mengisyaratkan kegeraman dan kemarahan, dan hal itu sudah cukup untuk mengubahnya.

Alhasil, yang asal adalah taghyîr al-munkar dengan cara sesuai istithâ’ah. Hanya saja, jika ghalabatu zhann kemungkaran itu tidak hilang kecuali dengan tangan, maka waktunya menghilangkannya dengan tangan bagi orang yang mampu melakukannya, dan tidak boleh membatasi hanya mengingkari dengan lisan atau hati.

WaLlâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]