memperbanyak-dzikrullah

Abdullah bin Busrin ra. menuturkan bahwa seorang laki-laki berkata, “Ya Rasulullah saw, sesungguhnya syariah Islam telah begitu banyak membebaniku. Karena itu beritahu aku sesuatu yang bisa aku jadikan pegangan.” Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan dzikrulLah.” (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Baihaqi dan al-Hakim)

Hadis ini dicantumkan oleh Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam sebagai hadis terakhir (ke-50) untuk melengkapi Al-Arba’un an-Nawawiyah menjadi 50 hadis. Imam at-Tirmidzi berkata, “Ini hadis hasan gharib dari sisi ini.”

Imam al-Hakim berkata di dalam Al-Mustadrak, “Ini adalah hadis yang sahih sanadnya tetapi tidak di-takhrij oleh keduanya (al-Bukhari dan Muslim). Hadis ini juga diriwayatkan dari jalur Muadz bin Jabal sekaligus ia yang bertanya kepada Rasul saw.

Dalam frasa syarâ-i’ al-Islam, kata syarâ-i’ merupakan bentuk jamak dari syarî’ah. Menurut ath-Thayyibi, kata itu artinya adalah sumber air unta di air yang mengalir. Yang dimaksudkan dengan kata tersebut adalah ragam perkara wajib dan sunnah yang telah Allah syariatkan dan Allah tampakkan untuk hamba-hamba-Nya. Menurut al-Qari, yang zhahir, yang dimaksudkan di sini adalah nawâfil (perkara-perkara sunnah).

Fara katsurat ‘alayya bermakna: telah mengalahkan aku karena banyaknya sehingga aku tidak mampu melakukannya karena kelemahanku. Fa akhbirnî bisyay`in maknanya: beritahu aku sesuatu yang mudah, tetapi bisa mendatangkan pahala yang banyak. Atasyabbatsu bihimaksudnya: aku bergantung padanya dan berpegang dengannya. Ini sekaligus menjadiqarinah bahwa yang dimaksudkan dengan syarâi’u al-Islâm adalah perkara-perkara sunnah, bukan syariah secara umum termasuk yang wajib. Sebab, yang wajib harus dilakukan, tidak boleh ditinggalkan dan digantikan dengan yang lain. Dalam frasa lisanuka rathban min dzikrillâh, kata rathban artinya basah dan segar, maksudnya sibuk dengan sesuatu. Ini merupakan kinayah (kiasan) dari al-mudâwamah (keajegan), yakni ajeg dan senantiasadzikrulLah.

Hadis ini termasuk di antara nas yang menjelaskan keutamaan dzikrulLah secara lisan.

Di dalam al-Quran, Allah SWT telah memerintahkan untuk memperbanyak dzikrulLah, juga menjelaskan berbagai keutamaannya. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا، وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلا

Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Bertasbihlah kepada Dia pada waktu pagi dan petang (QS al-Ahzab [33]: 41-42).

Zikir itu dilakukan dalam berbagai keadaan. Allah SWT memuji dan menjelaskan sebagian sifat ulul-albab (orang yang berakal):

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring… (QS Ali Imran [3]: 191).

Allah SWT telah menyiapkan ampunan dan pahala besar bagi orang yang selalu mengingat Diri-Nya:

وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

…laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (QS al-Ahzab [33]: 35).

Ibn Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fath al-Bârî menjelaskan hadis yang menyatakan keutamaan zikir secara lisan:

Yang dimaksud adalah mengucapkan lafal-lafal yang dianjurkan untuk diucapkan sebanyak-banyaknya semisal al-bâqiyât ash-shâlihât yaitu: Subhânallâh wa al-hamdu lillâh wa lâ ilaha illâllâh walLâhu akbar; diikuti al-hawqalah (lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh), basmalah,hasbalah (hasbunallâh wa ni’ma al-wakîl), istighfar dan semacamnya, serta doa meminta kebaikan dunia dan akhirat. Kata zikir juga dimaksudkan gigih melakukan apa yang diwajibkan atau disunnahkan seperti tilawah al-Quran, membaca hadis, belajar ilmu, shalat sunnah, dsb. Kemudian zikir itu kadang dilakukan dengan lisan. Pengucapnya akan diberi pahala dan tidak disyaratkan menghadirkan makna, tetapi disyaratkan tidak memaksudkan selain maknanya. Jika ucapan itu ditambah zikir hati maka lebih sempurna. Jika ditambah lagi dengan menghadirkan makna zikirnya dan yang tercakup di dalamnya berupa pengagu-ngan Allah dan menafikan segala kekurangan dari-Nya maka bertambah sempurna. Jika yang demikian itu terjadi pada amal shalih apalagi yang diwajibkan seperti shalat, jihad dan sebagainya, maka bertambah sempurna. Jika orientasinya benar dan ikhlas karena Allah maka itu puncak kesempurnaan.

Fakhrur-Razi juga mengatakan:

Yang dimaksud zikir lisan adalah lafal-lafal yang menunjukkan tasbih, tahmid dan tamjid. Zikir kalbu adalah berpikir tentang dalil-dalil zat dan sifat Allah; tentang dalil-dalil taklif berupa perintah dan larangan sehingga bisa mengetahui hukum-hukumnya; juga tentang rahasia makhluk-makhluk Allah. Adapun zikir dengan lahiriah adalah menjadikan lahiriah (jasad) habis dalam ketaatan. Dari sini Allah menyebut shalat sebagai zikir “fas’aw ilâ dzikrillâh(bersegeralah untuk mengingat Allah), yakni shalat Jumat.

Di antara zikir yang diperintahkan diperbanyak adalah yang dituturkan Abu Said al-Khudzri ra. Disebutkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:

اسْتَكْثِرُوا مِنَ الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَات ، … قِيلَ وَمَا هِىَ يَا رَسُولَ الله قَالَ: التَّكْبِيْرُ وَالتَّهْلِيلُ وَالتَّسْبِيحُ وَالتَّحْمِيدُ وَلا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إإِلاَّ بِاللهِ

“Perbanyak al-baqiyat ash-shalihat!”… Ditanyakan, “Apakah itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Takbir, tahlil, tasbih, tahmid dan lâ hawla wa lâ qauwwata illâ billâh.” (HR Ahmad, an-Nasai, Ibn Hibban dan al-Hakim).

Realisasi hadis di atas di antaranya dengan mendawamkan zikir lisan, terus mengulang-ulang berbagai lafal zikir yang disyariatkan, memperbanyak istighfar, senantiasa mengawali amal dengan basmalah, berdoa dalam berbagai kesempatan. Juga berzikir dan doa pada waktu yang dianjurkan seperti selepas shalat fardhu, pada waktu sahur, setelah shalat subuh hingga terbit matahari, di waktu pagi dan petang, dan sebagainya. Para Sahabat dan ulama salaf telah menjadikan zikir sebagai kebiasaan sehari-hari. Selain itu adalah melakukan zikir hati, akal dan lahiriah. Jika bisa direalisasikan, niscaya seluruh hidup akan bermakna di hadapan Allah dan mendapatkan pahala dan keridhaan dari-Nya. [Yahya Abdurrahman/Yoyok Rudianto]